Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Rabu, 01 April 2009

Penerapan Pendidikan Kehutanan yang Kritis: Upaya Menuju Hutan Indonesia Lestari*


Anak didik tidak hanya disiapkan agar siap bekerja, tapi juga bisa menjalani hidupnya secara nyata sampai mati. Anak didik haruslah berpikir dan pikirannya itu dapat berfungsi dalam hidup sehari-hari. Kebenaran adalah gagasan yang harus dapat berfungsi nyata dalam pengalaman praktis.
John Dewey (1859 – 1952)

Kondisi kehutanan Indonesia pada saat ini menjadi persoalan serius dan sudah menjadi tanggung jawab semua pihak untuk bisa memperbaikinya. Menurut Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Basah Hernowo sebagaimana yang dilansir Kompas.Com (11/09/08), laju kerusakan hutan Indonesia saat ini mencapai 1,08 juta hektar per tahun sedangkan kemampuan Pemerintah untuk merehabilitasi hanya sampai 700.000 ribu hektar per tahun. Lalu bagaimana lembaga pendidikan tinggi kehutanan mampu mempertanggung jawabkannya?

Merenungi quote John Dewey di atas, agak miris lihat kondisi pendidikan tinggi kehutanan saat ini. Pendidikan tinggi kehutanan lebih diarahkan pada menyiapkan rimbawan "buruh". Bukan lagi rimbawan-rimbawan handal yang siap menganalisa situasi dan kondisi kehutanan Indonesia saat ini. Karena pola pikir "buruh" lah, segala macam hapalan dijejalkan kepada mahasiswa kehutanan. Dan semuanya hanya demi satu kata: IJAZAH! ya, ijazah, ijazah, ijazah yang diperlukan untuk mencari pekerjaan. Pun demikian dengan institusi pendidikan, lembaga ini tidak ubahnya seperti pencetak mesin ijazah. Sebagian malah beriklan layaknya iklan sebuah pusat perbelanjaan dengan iming-iming ruangan ber-AC, free hotspot, dan lain sebagainya yang tidak ada kaitannya dengan makna pendidikan itu sendiri.

Lembaga pendidikan tinggi kehutanan di indonesia dianggap lamban dalam merespon perubahan dan masih terlena dengan teori-teori konvensionalnya, padahal tuntutan perubahan pengelolaan hutan ke arah yang lebih memihak rakyat sudah lama digaungkan. Menurut San Afri Awang, Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM, "Perguruan tinggi (kehutanan) di Indonesia terlalu sombong untuk memikirkan rakyat kecil, kecuali memikirkan diri sendiri".

Pendidikan atau Education berasal dari kata educare (ex ducere), yang berarti membimbing, menuntun, dan memimpin. Filosofi pendidikan sebagai educare ini lebih mengutamakan proses pendidikan yang tidak terjebak pada banyaknya materi yang dipaksakan kepada peserta didik dan harus dikuasai. Proses pendidikan educare lebih merupakan aktivitas hidup untuk menyertai, mengantar, mendampingi, membimbing, memampukan peserta didik sehingga tumbuh berkembang sampai pada tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Di sini, atmosfer pendidikan kehutanan mendapat tekanan dan peserta didik diberi keleluasaan untuk mengeksplorasi diri dan dunianya sehingga berkembang kreativitas, ide, keterampilan diri, dan kerangka berfikirnya. Minat dan bakat peserta didik diperlakukan sebagai sentra dan hal yang amat berharga. Peran pendidik lebih sebagai narasumber, pendorong, pemberi motivasi, dan fasilitator bagi peserta didik. Lebih dari itu, luaran pendidikan kehutanan harus menjadi orang-orang yang mampu mengubah diri sendiri dan masyarakat menuju pada arah yang lebih baik dan merdeka dalam upaya mewujudkan hutan Indonesia yang lestari.

Freire pun berkata, hakikat pendidikan adalah membebaskan. Sejiwa dengan itu, Ki Hadjar Dewantara, sang Bapak Pendidikan Indonesia, berkata bahwa pendidikan seyogyanya memerdekakan.

Lalu apakah pendidikan kritis itu? Apa pula yang dimaksud pendekatan andragogi?

Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial menuju masa depan kehutanan yang lebih baik. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap objektif maupun berjarak dengan masyarakat (detachment) seperti anjuran positivisme. Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistem dominan sebagai pemihakan terhadap masyarakat untuk mencipta sistem pengelolaan yang lebih adil. Dengan kata lain, sebagaimana yang disampaikan Driyarkara (1980), tugas utama pendidikan (kehutanan) adalah “memanusiakan” kembali manusia (kehutanan) yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.

Namun hal tersebut di atas akan sulit dicapai apabila dosen masih menerapkan pendekatan pedagogi dalam proses transfer ilmu pengetahuan kehutanannya. Suatu pendekatan yang “menempatkan mahasiswa sebagai “anak-anak”, meskipun usia biologis mereka sudah termasuk “dewasa”. Konsekuensi logis dari pendekatan ini adalah menempatkan mahasiswa sebagai “murid” yang pasif. Mahasiswa sepenuhnya menjadi objek suatu proses belajar seperti misalnya: dosen menggurui, mahasiswa digurui, dosen memilihkan apa yang harus dipelajari, mahasiswa tunduk pada pilihan tersebut, dosen mengevaluasi, mahasiswa dievaluasi, dan seterusnya. Kegiatan belajar-mengajar model ini menempatkan dosen sebagai inti terpenting sementara mahasiswa menjadi bagian pinggiran.

Akan lain hasilnya bila para dosen menggunakan paradigma pendidikan kritis dengan pendekatan andragogi. Pendekatan ini menempatkan mahasiswa sebagai orang dewasa. Di balik pengertian ini, Knowles (1970) ingin menempatkan “murid” sebagai adalah subjek dari sistem pendidikan. Mahasiswa sebagai orang dewasa diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memilih bahan dan materi yang dianggap bermanfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganalisis dan menyimpulkan serta mampu mengambil manfaat dari pendidikan kehutanan yang diperolehnya. Fungsi dosen adalah sebagai “fasilitator”, dan bukan menggurui. Oleh karena itu relasi antara dosen-mahasiswa bersifat “multicommunication” dan seterusnya.

Dan apabila hal ini dapat diterapkan, baik oleh dosen maupun mahasiswa, maka akan terlahir rimbawan-rimbawan yang handal. Tidak hanya handal secara teknis-praktis, tetapi juga kritis dalam menyikapi sistem, struktur, situasi dan kondisi kehutanan Indonesia, serta kondisi masyarakat Indonesia.

* Ubaidillah Syohih
http://greentipscompilation.blogspot.com
(62)878 700 51 595
Forci Dev



Diposting oleh: Adi Dzikrullah Bahri


Bookmark and Share


Technorati Profile

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

wibiya widget

 

Mengenai Saya

PetaMasaDepan
I am [Adi Dzikrullah Bahri] a student of Faculty of Forestry [Major Silviculture, Forest Fire Minor] Bogor Agricultural University. Daily activities but study is as President PetaMasaDepan Development Manager. Hubungi saya di facebook: petamasadepan [at] yahoo [dot] com.
Lihat profil lengkapku

Networkedblogs

My Album